Kekuatan mantera ini adalah untuk
mendinginkan panasnya api. Hal
ini dibuktikan oleh para empu
ketika mereka tengah membuat
berbagai tosan aji.
Babad tanah Jawa menyuratkan,
khususnya Empu tertentu yang
pernah berjaya pada zamannya,
terkadang mereka membuat
sebilah tosan aji hanya dengan
tangan telanjang. Dengan
kekuatan triwikrama, atau
penggabungan kekuatan rasa,
pikir dan raga --- mereka
memindahkan panas matahari
kepada bilah yang ada di
tangannya. Usai itu, mereka
langsung membentuk bilah itu
hingga menjadi sebuah tosan aji.
Hal ini tampak dengan jelas pada
berbagai bentuk tosan aji yang
dibuat oleh Empu Sombro. Di mana
pada bilahnya selalu mempunyai
ciri yang khas, pijatan jari.
Kesaktian para Empu ternyata tak
dapat dibuat main-main. Dari
sekian banyak Empu yang ada di
nusantara, salah satunya adalah
Empu Gandring. Empu yang satu
ini begitu legendaris. Ia telah
mengutuk Ken Arok dengan tujuh
keturunannya mati akibat keris
yang dipesannya sendiri. Konon
keris yang satu ini mempunyai
pamor yang dikenal dengan
sebutan sangga mayit. Pamor yang
begitu haus darah.
Olah batin yang demikian tinggi
tampaknya begitu dikuasai oleh
para Empu pada zamannya. Betapa
tidak, panasnya besalen (tempat
yuntuk membakar besi) dan
banyaknya pukulan pada bilah
yang membara di atas paron (alat
untuk menempa besi) benar-benar
diperhitungkan dengan amat teliti.
Menurut para ilmuwan, untuk
membakar sebuah besi dan
sekaligus mencampurnya dengan
pamor diperlukan suatu tingkat
panas yang demikian tinggi ---
agaknya, karena berkaitan dengan
bidang kerjanya itulah maka para
Empu memiliki suatu ilmu khusus
yang mampu menjinakkan
panasnya api.
Kesaktian atau daya luwih dari
salah seorang Empu tampak
dengan jelas ketika Raja Airlangga
meminta Empu Baradah untuk
membagi kerajaan Kediri menjadi
dua bagian. Maksudnya tak lain,
agar tidak terjadi perebutan di
antara kedua puteranya. Dengan
membawa sebuah kendi yang
berisi air, ia terbang di atas
kerajaan Kediri. Ajaib, kucuran air
itu berubah menjadi anak sungai.
Kerajaan Kediri pun terbelah
menjadi dua, Daha dan Jenggala.
Untuk menjinakkan panasnya api,
biasanya para Empu membentengi
dirinya dengan ajian Jaya Brama.
Ilmu ini tergolong ilmu sepuh (tua)
yang sangat dirahasiakan. Seiring
dengan perkembangan zaman,
pada akhirnya ilmu yang satu ini
banyak ditekuni oleh para pandai
besi. Maksudnya tak lain, agar di
dalam bekerja mereka mampu
meredam panasnya sengatan api
yang ke luar dari besalen.
Walaupun zaman sudah memasuki
era Millenium, namun kehebatan
ilmu ini tak pernah berubah sejauh
kita mampu melakukan ritual
sebagaimana yang dilakukan oleh
para Empu pada masa lalu. Karena
mantapnya suatu ilmu tergantung
dari keyakinan kita di dalam
mengamalkannya. Walau ilmu itu
terkesan sepele, tetapi jika kita
yakin di dalam mengamalkannya
maka akan dapat membuat
sesuatu yang mustahil bisa saja
terjadi. Itulah ilmu gaib. Oleh
karena itu, kehebatan aji Jaya
Brama akan dapat sebagaimana
yang kita harapkan jika kita mau
mengamalkannya dengan
keyakinan penuh.
Bagi pembaca yang penasaran
ingin mengetahui ritual dalam
mendalami ajian ini haruslah
menjalani persyaratan
sebagaimana yang tertera di
bawah ini :
- Mandi keramas sebelum
melakukan puasa mutih.
- Melakukan ...
berbuka puasa, diwajibkan
makan nasi goreng dengan
lauk-pauk serba digoreng.
- Selama melakukan puasa dan
patigeni tiap malam mantera
dibaca
133 kali.
Adapun mantera yang harus
dihafalkan adalah sebagai berikut :
"Ingsun amatak ajiku Jaya Brama,
kadadeyanmu kawah abang,
kuthane tembaga,
bala pitung ewu,
padha reksanen aku,
teguh rahayu,
atutup nabi akancing Allah,
pandhito jaya wali sanga,
iku jenenging urip,
kang mengku jenenging liyan
tak obah kabeh,
Dayaqauwati andaiid asri muliin".
Demikian kajian tentang aji Jaya
Brama yang banyak digunakan
oleh para empu maupun para
pandai besi di dalam membuat
tosan aji dan senjata tajam lainnya.
Penulis berharap semoga bahasan
ini bisa menambah wawasan
pembaca di dalam
perbendaharaan ilmu gaib
maupun ilmu kedigdayaan.
«